Jakarta – Setiap hari, netizen selalu mendapatkan suguhan disinformasi yang masuk ke dalam perangkat pribadi; beranda jejaring sosial, linimasa microblog, ataupun pun pesan instan pada grup dan jaringan pribadi. Jabar Saber Hoax misalnya, melaporkan data disinformasi yang dilaporkan warganet sejumlah 27 laporan selama Januari 2023, sejumlal 21 laporan terkonfirmasi sebagai hoax.
Jika dihitung selama satu tahun, jumlah hoax yang beredar bisa mencapai ribuan. Pada Februari 2022, Dirjen Aptika Kominfo mendeteksi sejumlah 2099 hoax yang beredar di sejumlah kanal media sosial. Artinya, bahwa warganet sangat rentan terkena isu hoax setiap harinya.
Jika ini terus berlarut, dampaknya bisa ke mana-mana baik secara individu, kelompok, bahkan negara. Menjadi ancaman serius bagi eksistensi bangsa. Salah satu contohnya, melambatnya status pandemi Covid-19 disinyalir salah satunya karena suburnya hoax tentang isu yang berkaitan dengan pandemi.
Seperti kasus vaksin, banyak masyarakat yang terpengaruh dan akhirnya sungkan divaksin karena takut. Hoax bukan hanya menyebabkan terbangunnya opini yang kontraproduktif, juga membangun opini yang masif sehingga orang bersikap ekstrem terhadap, misalnya antivaksin.
Berpikir Kritis
Era digital, informasi tidak harus dicari. Setiap hari puluhan bahkan ratusan notifikasi masuk gawai; email, aplikasi media online, media sosial, SMS, dan puluhan grup pesan instan. Kabar bohong yang terus menerus dimampatkan ke dalam pikiran warganet lama-lama akan dianggap wajar dan sedikit demi sedikit mengendap dianggap memiliki nilai kebenaran. Wajar jika hoax yang juga disebarkan melalui 800.000 situs (Kemenkominfo, 2021) tersebut selalu menemukan para penikmatnya.
Inilah era post-truth, ‘kebenaran’ tidak lagi datang dari sesuatu yang faktual, valid, dan akurat. Tapi datang dari ruang hampa yang tidak pernah memiliki pijakan, melenceng, fabrikasi, atau sekadar opini. Meminjam istilah Baudrillard, ini yang diistilahkan dengan simulakra. Era digital, simulakra seakan berpesta pora merayakan kemenangannya. Mereka semakin subur dan menemukan banyak pengeram dan penggemar.
Bahkan kita seringkali tidak sadar, saat menguggah status sedang berada di suatu kota padahal berada di kamar. Kita sedang menciptakan hoax bagi diri sendiri dan banyak orang yang berada di jejaring pertemanan. Bentuk-bentuk pengeraman dan bertambahnya penggemar kabar palsu tersebut merupakan perayaan komunikasi digital atau apa yang disebut Baudrillard sebagai ekstasi komunikasi.
Mereka para pengeram dan penyebar hoax sedang mabuk teknologi. Setiap opini dan perilakunya selalu di-remote oleh kabar-kabar yang tidak jelas tapi dipercaya sebagai sesuatu yang benar. Sebagaimana halnya orang mabuk, pikirannya tidak mampu lagi membedakan mana kabar benar dan palsu. Akalnya mati oleh candu simbolik yang ditembakkan ke alam pikirannya.
Pengeraman dan perayaan simulakra ini merupakan bentuk apa yang disebut oleh Piliang (2021) sebagai seduksi informasi. Suatu kecenderungan persebaran informasi pada abad virtual yang bertumpu pada permainan penampakan, artifisialitas, imagologi, dan mimikri sebagai cara warganet bertahan hidup di dunia digital. Eksistensi dibangun di atas kebenaran-kebenaran palsu.
Sehingga sejak awal peradaban ini hadir, atau setidaknya masa peradaban filsafat Yunani membincangkan realitas dan kebenaran, kini terminologi realitas dan kebenaran semakin kabur dan tidak jelas. Era digital semakin mendisrupsi kebenaran yang mengacak-acak peradaban moral. Bahkan juga jika kemabukan teknologi telah siuman, dengan sadar kebohongan demi kebohongan terus disebarkan. Sehingga menggeser makna kebenaran hakiki menjadi kebenaran yang bersifat subjektif dan linguistik.
Oleh karena itu salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh warganet era digital adalah keterampilan berpikir kritis. Berpikir kritis mengajarkan kepada setiap orang untuk selalu waspada, curiga, dan ragu-ragu terhadap setiap kabar yang masuk ke dalam notifikasi pikiran kita. Berpikir kritis kini bukan hanya menyoal intelektualitas seseorang yang bersifat abstrak (immaterial). Namun juga menjadi keterampilan ‘teknis’ yang bisa terlihat saat warganet merealisasikannya untuk menyikapi kabar menyesatkan (material).
Meminjam pernyataan Fuch (2019), komunikasi dalam hal ini yang direalisasikan dalam bentuk bahasa kabar bohong merupakan praktik materialisme produksi tatanan budaya. Kabar bohong menjadi bagian dari reproduksi hubungan sosial, sistem sosial, atau subsistem di masyarakat. Sebagai bagian dari hubungan sosial, Fuch merujuk pada teori kritis Marx, segala sesuatu yang dibentuk dalam masyarakat melalui hubungan sosial kabar bohong atau hoax ini adalah juga sebagai komoditas yang memiliki nilai. Maka seperti yang telah terjadi sebelumnya, wajar jika ada kelompok yang mengkapitalisasi kabar bohong tersebut.
Inklusivitas Jurnalisme
Informasi menjadi bagian tidak terpisahkan dari kerja jurnalistik. Lembaga pers telah sejak lama mengkontekstualisasikan berpikir kritis dalam proses kurasi beritanya. Bagi Baggini (2003), seorang editor The Philosopher’s Magazine, walaupun begitu banyak perspektif kebenaran dalam memandang suatu objek, namun jurnalisme memiliki kebenaran faktual yang bisa diterima semua orang bukan sebagian orang. Oleh karena itu sejak era minstrel, pengungkapan fakta sejelas-jelasnya menjadi pijakan jurnalisme.
Bagi Kovach dan Rosentiel (2001) kebenaran ini lebih dari sekadar akurasi namun juga pekerjaan sortir dan interaksi yang berkelanjutan antara cerita dengan publik. Jika merujuk pada teori kebenaran korespondensi dan koherensi, maka jurnalisme menerjemahkannya menjadi kesesuaian dengan fakta dan konsistensi yang masuk akal.
Namun, seiring dengan berkembangnya aktivitas jurnalisme, kontekstualisasi kritis juga berkembang.
Seperti ditulis oleh Bill Kovach dalam 9 Elemen Jurnalisme yang belakangan pada era digital bertambah menjadi satu elemen yaitu keterlibatan warganet menjadi produsen berita. Kritisisme yang dimaksud adalah turunan-turunan dari kebenaran faktual. Informasi tidak hanya harus benar, tetapi juga memenuhi unsur lain.
Unsur penunjang kebenaran tersebut adalah bahwa setiap informasi harus berpihak kepada publik, sehingga berita tidak berpihak pada kelompok tertentu atau faksi-faksi apapun. Setiap informasi pun harus akurat dengan disiplin verifikasi faktanya yang valid. Hal yang tidak kalah pentingnya, bahwa jurnalisme juga harus mampu mengontrol kekuasaan sehingga menjadi penyambung lidah masyarakat yang tidak mendapatkan kesempatan mendapatkan haknya.
Era digital, keterlibatan warganet menjadi satu keniscayaan. Selain menjadi konsumen, mereka menjadi salah satu produsen informasi yang sangat aktif, bahkan seringkali menjadi subjek bagi media massa. Pada sisi lain relasi dengan sumber informasi lain juga sangat kuat. Maka pada buku barunya Blur, Kovach dan Rosentiel (2010) menambahkan satu elemen yaitu warga negara. Mereka memiliki hak dan tanggung jawab terhadap berita yang dibaca dan disebarkannya.
Oleh karena itu, era digital, jurnalisme bukan milik lagi lembaga pers atau pekerja media. Ia milik semua warga negara yang harus dipraktikkan berdasarkan prinsip hak dan tanggung jawabnya sesuai nurani. Kovach dan Rosentiel dengan sangat lantang menyatakan, kebohongan dapat menyebar ke seluruh dunia sementara kebenaran masih terus digali. Kita sebagai warga negara punya tanggung jawab terhadap berakhirnya hoax dan tetap menyalakan kebenaran di ruang digital. Dengan jurnalisme, hoax dengan sendirinya akan mati.
Dudi Rustandi dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Telkom University, Ketua Relawan TIK Kabupaten Bandung, Pengurus Relawan TIK Jawa Barat. Dimuat juga di detik.comĀ