Oleh : Zainal Abidin Ridwan (Relawan TIK Sulsel) dalam rangka partisipasi Lomba Karya Kreasi Digital 11 Tahun Relawan TIK Indonesia.
“Kemanusiaan itu tidak akan pernah cukup dengan rasa iba dan kemarahan. Tetapi harus dijadikan keresahan kolektif, dan ditransformasikan menjadi gerakan bersama. Tetaplah bersetia dengan nalar kemanusiaan”. – Herdiansyah Hamzah.
Saya meminjam kalimat bijak dari Herdiansyah Hamzah untuk disandingkan dengan ungkapan kearifan lokal Manado, Sulawesi Utara, yakni ‘Sitou Timou Tumou Tou Deng TIK’, yang jika dialihbahasa ke Bahasa Indonesia berarti “Manusia Hidup untuk Memanusiakan Orang Lain melalui TIK”.
Foto pada ajang Festival TIK untuk Rakyat, Manado 2014
‘Sitou Timou Tumou Tou Deng TIK’ adalah tema dari penyelenggaraan Festival Teknologi Informasi dan Komunikasi (FESTIK) 2014. Festival TIK untuk Rakyat ini dipusatkan di Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Bagi sebagian orang, tema kegiatan ini mungkin dirasa cukup ganjil meski pada akhir kalimat terdapat kata ‘TIK’.
Namun bagi saya dan teman-teman yang berkecimpung di Relawan TIK, kata ‘manusia’, ‘memanusiakan’, dan ‘kemanusiaan’ bukanlah hal baru. Bahkan telah menjadi landasan gerak sejak berdirinya Relawan TIK pada 4 Juli 2011, silam.
Bahkan jika menilik lebih jauh sebelum terbentuknya Relawan TIK, para kepala pemerintahan negara dari berbagai penjuru dunia dalam pertemuan tingkat tinggi Masyarakat Informasi Sedunia (world summit on information society-WSIS), baik saat WSIS Pertama di Jenewa 2003, dan WSIS Kedua di Tunisia 2005, menjadikan Pengurangan Kesenjangan Dijital dan Pengentasan Kemiskinan sebagai dua topik utama pembangunan sektoral dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Kita mengetahui bersama, kesenjangan dijital dan pengentasan kemiskinan identik dengan kemanusiaan.
Semangat dari WSIS inilah yang diadopsi oleh Relawan TIK. Kesenjangan dijital dan pengentasan kemiskinan dijadikan keresahan kolektif, lalu ditransformasikan menjadi gerakan bersama. Dari sini lahir-lah visi Relawan TIK Indonesia, seperti termaktub dalam AD/ART organisasi yang ditetapkan di Bogor, 4 Juli 2011. Visi tersebut, yakni ‘Menjadikan Relawan TIK sebagai pribadi, sekaligus warga masyarakat unggulan, yang siap siaga mengemban misi sosial, kemasyarakatan, dan kemanusiaan bagi pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan/penguasaan keterampilan teknologi informasi dan komunikasi untuk kemaslahatan masyarakat dan kemajuan bangsa”.
Foto Membangun Kebersamaan
Sebagai Lembaga Sosial Masyarakat yang punya cita-cita luhur memanusiakan manusia melalu TIK, Relawan TIK menancapkan Dua strategi pengembangan organisasi yang cukup bernas di awal pembentukannya, yakni Bridging dan Branding atau Jembatan dan Nama Organisasi.
Khusus Bridging, jembatan yang dirintis di Relawan TIK berfungsi sebagai supply and demand. Banyak masyarakat kita yang membutuhkan sosialisasi dan edukasi pemanfaatan TIK, baik itu pelajar, pelaku usaha, hingga aparat pemerintahan. Di sisi lain, banyak komunitas yang memiliki kompetensi di bidang TIK yang dapat membantu melakukan sosialisasi dan edukasi. Olehnya itu, Relawan TIK menjadi jembatan untuk mempertemukan keperluan masyarakat akan edukasi di bidang TIK (demand) dengan relawan pegiat TIK yang memiliki kompetensi untuk melakukan pelatihan di bidang TIK (supply).
Cerita Festival TIK Manado, 2014
Kita kembali ke Festival TIK di Manado, di mana saya menjadi salah satu peserta utusan Sulawesi Selatan. Jembatan kemanusiaan yang dibangun Relawan TIK pada kegiatan ini terlihat dari materi-materi yang disajikan selama pelaksanaan acara, 3-4 Juni 2014. Pada hari pertama atau setelah acara pembukaan, dipaparkan dua materi di panggung utama, yakni ‘Internet untuk Rakyat’ dan ‘Internet Cerdas, Kreatif, dan Produktif (CAKAP)’.
Pada sesi ‘Internet untuk Rakyat’, narasumber dari Kementerian Kominfo dan pemantik lainnya menjelaskan, pentingnya penyediaan infrastruktur telekomunikasi dan internet untuk menghubungkan desa-desa agar penduduk Indonesia bisa melek TIK demi peningkatan kualitas hidup masyarakat di desa. Saya menyebut sesi ini adalah sesi di mana internet adalah jembatan untuk memanusiakan manusia di pelosok desa.
Perkembangan TIK di era globalisasi menempati posisi penting sebagai salah satu pilar pembangunan. Dalam konteks ini TIK berperan sebagai katalisator, sekaligus peluang usaha. Ini adalah poin penting dari paparan narasumber pada materi ‘‘Internet Cerdas, Kreatif, dan Produktif (CAKAP)’. Saya menyebut sesi ini adalah sesi di mana internet diharapkan menjadi jembatan untuk mengatasi masalah pembangunan seperti pengangguran dan kemiskinan.
Dua materi awal yang disuguhkan Relawan TIK bersama Kementerian Kominfo di hari partama Festival TIK Manado, sedikit banyak telah memberikan gambaran kepada kita, betapa pentingnya TIK sebagai jembatan kemanusiaan di mana Relawan TIK sebagai supply and demand.
Pada hari kedua Festival TIK, Mongol yang juga jebolan program StandUp Comedy salah satu stasiun televisi, tampil mengocok perut peserta dan pengunjung Festival TIK. Bersama praktisi Media Sosial Nukman Lutfi, Mongol membangun narasi yang cukup menguras energi para peserta -termasuk saya- untuk memahaminya; Hidup untuk IT atau IT untuk Hidup. Anda pilih yang mana?.
Sesi workshop di hari kedua Festival TIK adalah sesi pendalaman materi. Peserta diberikan pilihan untuk memasuki kelas mana sesuai passion-nya. Saya memilih mengikuti workshop ‘TIK dan Mitigasi Bencana’. Selain tertarik dengan isu kemanusiaan di daerah bencana alam, saya juga merasa wajib mengikuti materi ini untuk me-replikasi-nya di tanah kelahiran saya; Kabupaten Sinjai. Sinjai adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang masuk pada peta bencana alam banjir dan tanah longsor.
Materi ‘TIK dan Mitigasi Bencana’ dibawakan oleh Komunitas INASAVE dan Akhmad Nasir dari Komunitas Jalin Merapi. Semua materinya adalah ‘daging’. Peran Relawan TIK ternyata sangat dibutuhkan di daerah bencana. Selama ini kelemahan di daerah bencana adalah belum adanya relawan yang meng-handle tools untuk jalinan komunikasi dalam rangka membangun empati. Kompetensi Relawan TIK sangat dibutuhkan untuk menjadi jembatan komunikasi antar relawan kemanusiaan yang satu dengan relawan kemanusiaan lainnya.
Di daerah bencana alam, tak semua relawan harus turun mencari atau mengevakuasi korban bencana. Mesti ada relawan yang menangani informasi dan komunikasi kebencanaan. Di daerah rawan bencana, tak semua warga memiliki kemampuan melakukan sosialisasi dan edukasi untuk mitigasi bencana menggunakan perangkat TIK. Lagi-lagi, kompetensi Relawan TIK dibutuhkan untuk program mitigasi bencana demi alasan kemanusiaan; mencegah terjadinya korban jiwa saat bencana alam melanda. “Sungguh tugas yang mulia jika Relawan TIK mengambil peran ini”. Demikian harapan Akhmad Nasir di akhir paparannya.
Yang disampaikan Akhmad Nasir juga senada dengan harapan dari Ashwin Sasongko, saat menjabat Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo RI, pada tahun 2011. Aswin, dalam buku ‘Relawan TIK Indonesia-Bersama Membangun Masyarakat Indonesia Informatif’, mengharapkan Relawan TIK membentuk satuan tugas yang bersikap siaga, sigap, dan tanggap dalam melakukan koordinasi, kolaborasi, kerjasama di berbagai daerah dalam situasi darurat, bencana, maupun krisis guna memulihkan infrastruktur dan pemanfaatan TIK.
Koordinasi, kolaborasi, dan kerjasama adalah 3 (tiga) kata yang harus bersemayam di dada para Relawan TIK. Ketiga kata ini akan menumbuhkan empati kemanusiaan. Akan selalu ada hubungan emosional, meski pada nantinya seorang Relawan TIK tidak lagi ada dalam struktur kepengurusan, karena sejatinya, Relawan TIK adalah urusan kemanusiaan. Bangga Jadi Relawan TIK !!.